
1. Buang Sampah Sembarangan
"Jangan buang sampah sembarangan", "Kebersihan merupakan sebagian dari iman". Slogan itu sebenarnya diajarkan sejak anak-anak, TK hingga perguruan tinggi. Berulang-ulang. Tak cuma slogan, anak-anak sekolah diajarkan tertib membuang sampah di tempatnya.
Namun lihat di pintu air Manggarai, lihat di sepanjang Sungai Ciliwung dan sungai-sungai lain. Sampah rumah tangga, dari yang kecil hingga yang besar seperti kasur bertebaran. Entah apa warga yang membuang sungai itu tak punya tempat sampah, atau tak punya anggaran untuk membayar petugas kebersihan.
Tak mempankah ajaran dan slogan kebersihan yang diulang-ulang sejak TK itu mempengaruhi hidup orang Indonesia sampai dewasa?
2. Bangun Rumah di Bantaran Kali/Waduk
Ini menjadi salah satu masalah di Jakarta. Banyak sungai-sungai dan waduk-waduk di Jakarta menyempit karena bantarannya dibangun rumah-rumah ilegal. Sungai dan waduk yang fungsinya mengalirkan air dan menampungnya akhirnya berubah. Tempat air diokupasi bangunan untuk tempat tinggal.
Pendudukan bantaran sungai dan waduk ini juga bukti lemahnya kontrol Pemprov DKI dalam mengawasi penggunaan tata ruang dan pendirian bangunan yang harus memiliki sertipikat tanah atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Pemprov DKI di bawah Gubernur Jokowi dan wakilnya Ahok pun memutar otak bagi warga bantaran kali dan waduk ini. Akhirnya dicetuskanlah memindahkan mereka ke rusun. Seperti warga bantaran Waduk Pluit ke Rusun Marunda dan warga di bantaran Waduk Riario ke Rusun Pinus Elok. Nah, beberapa rusun sedang dibuat untuk merelokasi warga di pinggir Sungai Ciliwung.
"Saya berikan contoh, memperlebar Sungai Ciliwung. Memperlebar (sungai) bisa dimulai tapi memindahkan warga di kanan kirinya yang ada 34.000 KK itu tidak mudah," jelas mantan Wali Kota Solo ini usai meninjau jalan yang ambles di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2014).
Setelah direlokasi, barulah waduk dan sungai dinormalisasi. Pemprov DKI sudah menjalankan Proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) yang mengeruk 14 kali dan waduk di Jakarta.
3. Cukur Hutan Sampai GundulDahsyatnya banjir Manado yang terjadi dalam beberapa hari lalu, belum pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebab banjir ini adalah karena hutan yang gundul.
"Memang banjir Manado sangat dahsyat, walau tahun lalu kami juga banjir tapi tidak setinggi itu. Tolak ukurnya adalah kantor Wali Kota terendam. Kalau dia terendam maka yang lain terendam. Hampir 75 persen area kita terendam," kata Pakar Lingkungan Hidup Universitas Sam Ratulangi Manado, Dr Veronica Kumurur.
Hal itu disampaikan dalam diskusi 'Bencana dan Kita' di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (18/1/2014).
Veronica melakukan penelitian di Manado pada Desember 2013 lalu tentang kawasan Kota Manado yang banyak aliran sungai terutama kawasan selatan berupa dataran tinggi.
"Yang saya temui bentang alam sudah ditebang padahal itu drainase alami. Kota Manado punya kawasan tangkapan air. Gunung-gunungnya mulai ditebang diganti pemukiman, dan diganti industri," paparnya.
Menurutnya, topografi Kota Manado berada di antara gunung dan pantai yang jaraknya dekat. Sementara selain gunung sebagai resapan air menjadi gundul, juga karena belasan sungai tinggal 4 sungai tersisa. Ia memaparkan ada data yang bisa dilihat melalui google earth terkait perubahan kawasan hijau menjadi gundul di Manado dari hutan menjadi pemukiman dan industri.
Kasus serupa juga terjadi di Puncak, Bogor. Di mana lahan yang seharusnya menjadi resapan air di sana berubah menjadi bangunan vila-vila. Tak heran, Pemprov DKI ingin membeli vila-vila itu dan mengubahnya kembali menjadi tempat resapan air.
4. Bangunan Baru Tak Perhatikan Drainase dan Resapan
Selain banyak daerah resapan air berubah fungsi, bangunan yang dibangun biasanya tak memperhatikan drainase dan resapan. Pembangunan yang menutup total permukaan tanah, tidak memperhatikan jalur atau parkir air ini memperparah banjir.
Pakar tata kota Marco Kusumawijaya yang diwawancarai detikcom pada 19 Januari 2013 lalu mengatakan, "Harus kurangi pembangunan yang sifatnya menutupi tanah, tidak bisa tidak, mengurangi pembangunan tapi bisa juga menerapkan cara-cara membangun yang baru, misalnya lahan yang tertutup sesedikit mungkin. Ada ruang terbuka atau membuat buat sumur resapan. Seluruh cara membangun diubah menjadi pendekatan yang tidak mengecilkan air permukaan".
Di Jakarta, Pemprov DKI sampai membuat aturan bahwa membangun rumah atau gedung baru harus memiliki sumur resapan. Pemprov DKI juga sedang membuat 2 ribu sumur resapan di bangunan dan trotoar di Jakarta.
Posting Komentar